Tunas-Tunas Pejuang - Kehidupanku di Kota


Aku bangga karena aku dilahirkan oleh seorang ibu dari bangsa yang merdeka. Mempunyai ayah yang telah ikut memerdekakan bangsa. Aku putra Indonesia! Alhamdulillah!

Itu semua kuwarisi. Diberikan ayah dan ibuku tanpa upacara, tanpa serah terima. Namun, aku yakin, semuanya untuk bekal hidupku. Bukan harta, bukan takhta dan bukan juga uang. Tapi berupa bekal semangat, pengetahuan dan pendidikan. Bekalku dalam menguak kehidupan di kota. Kota dengan berbagai corak kehidupan yang majemuk. Kadang-kadang sulit diterima secara moral. Susah diukur secara sosial. Menyatu membentuk kehidupan tersendiri, itulah masyarakat kota!

Apa arti kota bagi masyarakat? Apa arti masyarakat bagi sebuah kota? Benarkah kehidupan di kota kurang gotong-royong? Benerkah kehidupan di kota mementingkan diri sendiri? Benarkah? Mungkin ada benarnya, mungkin juga tidak. Semuanya tergantung pada diri kita masing-masing. Tergantung pada masyarakat kota itu sendiri.
Mengapa kita harus mengubah sikap, karena melihat gedung bertingkat yang indah? Mengapa kita harus mengubah sikap, karena silau sinar lampu mercury yang terang berkilau? Mengapa kita harus mengubah sikap, karena mendengan alun musik-musik keras yang menggema? Mengapa kita harus mengubah sikap, sedangkan kita telah memiliki sikap kepribadian sendiri yang luhur? Mengapa? Mengapa karena semu itu sikap kita mesti berubah? Mengapa?
Ah…, mengapa aku melantur terlalu jauh. 

Masalahku sendiri belum dapat diselesaikan. Masalah dalam keluargaku. Sering terdengar salah pengertian di antara ayah dan ibu. Sering terjadi juga perang kata. Justru ayah sangat takut menghadapi perang kata itu, lebih berani menghadapi pelang peluru!

Yang diperebutkan adalah masalah kehidupan. Mestinya hal itu tidak usah terjadi, tidak ada faedahnya. Hidup semacam ini sudah lama dialami. Itu pendapatku. Pendapat ibuku lain lagi. Ibu mempunyai kata hati sendiri, ayah demikian juga. Itu urusan keluargaku, urusan pribadiku! Tak apalah, sudah bukan rahasia lagi.
Pada suatu sore yang sejuk, aku berkumpul bersama ayah, ibu dan adikku. Duduk-duduk di ruang tengah. Kejadian itu tidak direncanakan, secara kebetulan saja.
“Tadi ibu-ibu berkumpul di rumah sebelah. Ada apa, bu?” tanya ayah membuka percakapan.

“Seperti yang belum tahu, itu kan rapat PKK!” jawab ibuku dengan nada tidak setuju. Rupanya ibu merasa tersinggung. Atau memang segan mendengarkan kata-kata ayah.
Mendengar jawaban itu, ayah tetap bersikap tenang. Wajahnya tidak menampakkan perubahan. Padahal menurut ukuranku jawaban itu kurang pantas. Sungguh memprihatinkan sekali.

“Ibu tidak ikut?” ayah mencoba lagi bertanya. Ucapannya datar dan meyakinkan.
“Kalau akau ada di sini berarti tidak iku, bukan? Lalu apa kepentingannya Bapak menanyakan hal itu? Aku tidak mempunyai kepentingan dengan mereka!” ucap ibu dengan nada agak keras. Wajahnya menatap ayah dengan tajam.
Wah… wah… celaka, pikirku. Mudah-mudahan tidak berkepanjangan. Sikap ayah semakin tenang, semuanya sudah dianggap biasa. Sungguh teguh kendali amarahnya. Walaupun ayang seorang pensiunan ABRI.

Aku pikir ayah ada benarnya. Di samping sebagai pensiunan ABRI, ayah masih menjadi pegawai negeri. Meskipun tidak di lingkungan ABRI itu sendiri. Sebagai pegawai negeri ayah harus taat kepada sumpahnya. Sebagai aparat pemerintah, abdi negara, dan abdi masyarakat. Selain itu, ayah sebagai pengurus LKMD. Banyak lagi jabatan dalam organisasi masyarakat yang ayah pegang. Seluruh masyrakat sudah mengenalnya. Masyarakat sudah tahu pribadi dan kepemimpinan ayah. Hampir semua masyarakat menyenanginya. Pantas kalau ayah selalu memperhatikan dan mengikuti keadaan keluarganya sendiri.

Ayah sering menganjurkan masalah pengabdian. Sering menganjurkan kerukunan keluarga, sering menganjurkan pola hidup sederhana, sering menganjurkan gotong-royong dan sering menganjurkan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Kesemuanya sering ayah lakukan dan sering ayah anjurkan.

Apa arti semuanya itu, bila dalam keluargaku sendiri berlum terwujud. Dikemanakan kepemimpinan ayah? Dikemanakan kewibawaan ayah? Aku mengerti dan aku mau mengerti, apa yang semua ayah lakukan. Namun, aku sendiri tidak cukup. Harus semuanya melakukannya, termasuk ibuku sendiri. Justru ini yang sulit!
“Coba agak tenang sedikit, Bu?” pinta ayah. “Yang aku inginkan ibu ikut serta. Baik bukan? Pengalaman ibu bsa bertambah.”

“Belum masanya!” jawab ibu dengan tegas. “Bapak kira aku tidak mengerti bahwa hal itu baik? Pak…, Pak…, yang penting…, kebutuhan kita cukupi! Bergaul itu mudah. Tapi ingat apa-apa harus serba ada! Untuk makan saja….”
“Sudah…, sudahlah, Bu! Malu…! Saya minta hal itu janga dilanjutkan,” kataku memotong percakapan ibu.

Ketegangan dapat kuredakan. Suasan hening kembali, masing-masing mengkaji apa yang kusampaikan. Mungkin ada benarnya. Suasana menjadi sepi.
Alam sudah mulai gelap

Tati adikku sudah menyalakan lampu, berbarengan dengan nyala lampu-lampu di jalan. Waktu senja berlalu sudah. Malam mulai tiba. Tak ubahnya kehidupan kita, kadang-kadang di atas, kadang-kadang di bawah. Kadang-kadang pula mendatar. Wajar! Apa pun patut kitas syukuri. Semuanya nikmat Tuhan Yang Maha Esa!

Malam ini aku berkumpul kembali. Tapi hanya bertiga. Bersama ayah dan adikku. Ibu ada di kamar, entah sedang apa. Adikku duduk sambil membaca sebuha buku. Pasti buku pelajaran. Aku duduk di depannya sedangkan ayah pada kursi panjang.
“Buku apa, Ti?” tanya ayah dengan penuh kasih sayang.
“IPS, Pak. Oh… iya Pak, Tati ada yang belum mengerti!” kata Tati.
“Tentang apa? Tanyakan saja kepada kakamu, Halim kan guru!” jawab ayah sambil tersenyum. Padangan ayah ditujukan kepadaku. “Apa yang kau belum pahami?”
“Ini, Pak,” kata Tati sambil membuka buku. “Kartini adalah pejuang bangsa. Tati kurang jelas, apa yang dimaksud pejuang itu? Bukankah Kartini hanya mendidik kaum wanita! Pada zaman itu anak wanita tidak boleh terus bersekolah, bahkan ada yang melarangnya! Mengapa disebut pejuang?”

“Lalu, menurut pendapatmu bagaimana?” tanyaku mencoba.
“Menurut pendapatku, kalau pejuang mereka yang mengangkat senjata. Mereka yang turut berperag!”
“Misalnya…?” sambungku.
“Misalnya… Bapak sendiri. Bapak kan pejuang!” jawab Tati dengan manja dan tidak ragu-ragu.
“Ha… ha… ha…!” aku tertawa.
Ayah tertawa juga. Tapi buka menertawakan adikku, melainan terlibatnya ayah dalam permasalahan itu.
“Tati… Tati…,” kata ayah masih tertawa juga. “Tat, pejuang tidak hanya memanggul senjata. Tidak hanya ikut berperang. Tidak hanya yang terluka kena peluru.
Tidak! Mendidik orang sehingga pandai dia pejuang juga! Memberikan tuntunan agama sehingga orang menjadi baik, jua pejuang.”
“Jadi,…Kartini sebagai pejuang, tepat! Begitu, Pak!”
“Benar!” jawab ayah dengan tegas.
“Kartini, Dewi Sartika, Ki Hajar Dewantara… mereka pejuang juga pejuang. Pejuang pendidikan!” tambahku.
Tati kelihatan mengangguk-angguk, tapi rupanya masih ada yang akan ditanyakan kembali.

“Mengapa pada zaman penjajahan sekolah sangat sedikit sekali? Itu pun tidak sembarang orang bisa sekolah!” keluh Tati dengan perasaan kecewa.
“Nah, di sinilah letak kelicikan penjajah! Mereka tahu kalau pada saat itu kita bisa bersekolah bebas dan gedung-gedung didirikan banyak, tentu, kita akan menjadi pandai.

Dengan kepandaian itu akan timbul kesadaran bahwa selama ini kita dijaja,” aya meneruskan ceritanya dengan penuh semangat. “Lalu….”
“Justru itu yang ditakuti penjajah!” aku meneruskn uraian ayah, “Mengerti, Tat?”
“Terima kasih, sekarang telah mengerti dan jelas,” jawabnya puas.
“Tat… uraian bapak tadi cukup jelas. Untuk menerangkan tentang perjuangan, kemerdekaan, pengorbanan, dan pembangunan termasuk masalah kenegeraan, tidak mesti selalu seorang guru! Semua mempunyai kewajiban. Apalagi bapak sendiri yang mengalam sambil kubelai rambutnya.

Ayah mendengar uraianku hanya tersenyum. Ia memandangku sejak tadi.
Adikku rupaya puas dengan penjelasan tadi. Ia ternyata tidak bertanya lagi. Ia menruskan membaca buku kembali. Bibirnya bergerak-gerak, mungkin ada yang perlu diulang agar cepat hafal. Sekali-kali ia melihat ke dinding. Ditatapnya lukisan ibu Kartini. Ia lama menatapnya. Pandangannya tajam, seakan-akan lukisan itu diajaknya bercakap-cakap. Entah apa yang dipercakapkannya.

Di ruang tempat kami berkumpul tergantung beberapa lukisan para pahlawan kita. Dari zaman ke zama, walaupun dari tiap zaman lukisannya cuma satu. Ayah yang memasang semua itu. Lukisan-lukisan itu diberinya bingkai dan berkaca. Sewaktu-waktu ayah membersihkan dan membetulkan letaknya. Ayah pernah berkata bahwa tanpa mereka kita tidak bisa hidup seperti sekarang. Kata-kata ayah berkesan sekali dalam hatiku.

Lonceng dari pos keamanan berbunyi sembilan kali. Adikku sudah pergi tidur sejak tadi. Tinggal aku bersama ayah. Aku masih senang mendengarkan uraian ayah. Jarang ayah bercerita seperti itu, ayah sering memberikan penyuluhan ke kampung-kampung. Ayahku seorang pejuang namun sebutan itu tidak pernah ia katakan. Masyarakatlah yang sering menyebutnya. Ayah pernah berkata bahwa sebutan itu terlalu berlebihan.
“Lim, bimbing adikmu baik-baik,” kata ayah memulai lagi percakapan.
“Tentu, Pak!”
“Kau harus hati-hati hidup di kota ini!” sambung ayah sambul membetulkan sandaran.
“Dalam hal apa?”
“Dalam segala hal. Kau hidup di kota berarti kau hidup ditengah-tengah masyarakat kota. Semuanya serba ada dan semuanya serba maju. Itu tidak bisa menjadi jaminan tercapainya ketenangan hidup,” kata ayah pula.
“Apakah itu yang dimaksud tujuan hidup?”
“Benar, kau benar, Lim! Itu tujuan hidupmu, tujuan hidup kita. Tujuan hidup semua manusia.”
“Itu soal biasa, buka masalah lagi,” kataku memberanikan diri. Aku tahu, ayah orangnya terbuka.
“Benar, benar, Lim! Itu soal biasa bukan masalah lagi. Tapi ingat, soalnya memang biasa dan masalahnya memang biasa. Tapi cara mencapainya, bagaimana mencapainya dan apa yang dicapainya, buka soal biasa! Bahkan menimbulkan masalah tidak biasa.”
“Aku masing bingung, Pak!”
“Mengapa bingung? Aku mengerti, pengalamanmu belum seberapa,” sambung ayahku.
Aku hanya menganggukkan kepala.
“Setiap orang berhak mempunyai tujuan, bahkan harus! Tapi tujuan itu harus selaras dan serasi.”
“Apa yang dimaksud selaras dan serasi itu?” tanyaku.
“Selaras dan serasi dengan kehidupan lingkungannya, selaras dan serasi dengan kemampuan dirinya. Selaras dan serasi pula dengan kehidupan dan keadaan kotanya. Selaras dan serasi di sini berarti pula memperhatikan kepentingan lingkungannya, kepentingannya desanya dan kepentingan kotanya. Jadi, tidak cukup melulu untuk kepentingan hidupnya sendiri tanpa selaras dan serasi dengan kepentingan-kepentingan lainnya.”
“Jadi, tujuan hidup itu bersifat umum!” sahutku.
“Bukan! Tujuan hidup seseorang bersifat pribadi karena ditentukan oleh dirinya sendiri. Tapi tujuan hidup harus memenuhi kepentingan lingkungan sekitarnya. Hal ini harus tumbuh dari diri sendiri. Tidak dipaksakan dari luar.”
“Kukira orang masih banyak belum menyadari akan itu!” tambahku.
“Nah…, kalau kau berkata belum menyadari berarti belum ada kesadaran. Begitu bukan?” ayah mengembalikan pertanyaan itu kepadaku.
“Benar!”
“Dengan kesadaran kita akan merasakan tercapai tidaknya tujuan tersebut. Kau mengerti bahwa dengan kesadaran akan melahirkan tanggung jawab!” kembali ayah mengembalikan itu kepadaku.
Berat juga mengikuti jalan pikiran ayahku. Apa boleh buat telah kuniati, akan kutimba seala pengalaman ayah.
“Kalau setiap orang sudah demikian, akan mempercepat tercapainya tujuan. Ini tidak semudah apa yang kita ucapkan,” kataku menambah ulasan ayah.
“Sadar berarti mengerti akan tujuan yang akan dicapai. Ingat, mengapa aku dahulu mau berperang menantang maut?” lanjut ayah. “Karena aku mengerti tujuan yang sedang diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia pada saat itu!”
“Apakah semua sama seperti Bapak?” tanyaku memberanikan diri.
“Pasti sama, kalau tidak, kita tidak mungkin merdeka!” jawab ayahku dengan tegas.
“Kalau begitu di mana letak kesamaannya?” tanyaku kembali karena masih belum jelas.
“Dala tujuan!” jawab ayah singat.
“Bukankakah kemerdekaan tujuan kita itu, Pak?”

“Bukan! Bukan! Kau jangan keliru,” Jawab ayah berkali-kali dengan tandas.
“Jadi, apa?”
“Tujuan kita mengisi kemerdekaan. Sedangkan kemerdekaan merupakan pintu gerbangnya, yang pada saat itu dikuasai dan dijaga ketat oleh penjajah!” jawab ayah berapi-api.
“Aku masih belum mengerti. Pejuang kita begitu banyak, sedangkan mereka terpencar-pencar tempatnya. Bapak salah seorang diantaranya. Bagaimana mungkin akan terwujud kesamaan dalam tujuan?” tanyaku kembali.
“Ha… ha… ha…,” ayah tertawa sambil melanjutkan ceritanya. “Pandanganmu masih dekat, Lim! Pada saat itu pemimpin kita berkumpul di Jakarta. Di sanalah disusun tujuan bersama kita dalam bentuk Undang-Undang Dasar 1945, coba kau kaji lagi pembukaan UUD 1945!”
“Ya…ya! Sekarang telah jelas. Persis apa yang kuterima pada penataran P4 bagi pemuda,” jawabku dengan yakin.
“Kau menguji aku rupanya, ya? Sekarang kau jangan bimbang, pegang teguh, teruskan dan pertahankan! Kita harus bekerja sama semuanya, bukan semaunya!”
“Jadi, apa yang harus kita lakukan dalam mengisi kemerdekaan itu?” tanyaku penuh perhatian.
“Itu tugas dan kewajibannmu, silakan!” kata ayah sambil tersenym menatapku. “Yah…, kita tak usah terlalu jauh dahulu jangkaunnya. Kita mulai dari diri peribadi kita masing-masing.”
Ayah diam sejenak, kemudian menyalakan rokoknya.
“Seperti halnya kau!” ayah melanjutkan kembali. “Kau mencintai ayah, bukan? Mencintai ibu dan adikmu, sekaligus mencintai seisi rumah ini. Mengapa?” ayah memandangku dengan tajam. Aku tidak berani menatapnya. Aku tahu ayah sendiri akan menjawabnya.
“Karena kau merasa memiliki semuanya, bukan?” tanya ayah lagi kepadaku.
Aku Cuma menganggukkan kepala.
“Karena kau sadar, maka muncullah tanggung jawabmu. Aku tanggung jawabmu, coba?” ayah bertanya kembali.
“Kupelihara dan kujaga,” jawabku.
“Nah, sekarang kau telah mengerti. Secara sadar merasa memiliki, akhiranya merasa tanggung jawab sehingga kita mau memelihara, meningkatkan, menjaga bahkan mempertahankan!”
Kini jelas apa yang terkandung dalam alam pikiran ayah. Sungguh begitu dalam maknanya.
“Coba liahat keadaan keluruhan kita. Kalau setiap warga sadar akan rasa memiliki kelurahan, maka dengan sendirinya mereka akan senantiasi memelihara.”
Aku menganggukkan kepala.
“Lebih luas lagi…,” ayah melanjutkan uraiannya. “kota kita, tanah air kita. Dengan adanya kesadaran akan terasa memiliki akan dipelihara, dijaga dan dipertahankan!”
“Jadi, kesimpulannya bagaimana, Pak?” tanyaku.
“Jelas bahwa tujuan hidup seseorang harus memenuhi juga kepentingan lingkungan, kelurahan, kota dan kepentingan tanah air atau negara. Jangan melulu kepentingan peribadi sendiri!”
Aku semakin yakin, jiwa sebagai pejuang masih melekat pada diri ayah. Sungguh mulia hatinya!
Namun, sekarang tiba-tiba pikiranku teringat akan peristiwa sore tadi. Aku mulai lagi menyajikan masalah itu. Kuanggap belum selesai, memang belum selesai.
Kembali kepada masalah kita sendiri,” kataku membuka percakapan lai.
“Oh… kejadian sore tadi? Tentang ibumu?”
“Betul, Pak!”
“Masalah biasa, tak perlu kau risaukan. Ayah menerti apa yan diendap ibumu selama ini.”
“Tapi…”
“Tapi apa?”
“Selama ini sikap ibu…,” aku tidak berani melanjutkan.
“Ya, ayah mengerti. Kau tahu Lim, bahwa kesadaran harus dimiliki oleh setiap orang, termasuk ibumu. Dahulu pada saat aku mempersunting ibumu sampai dengan mempunyai anak, kau dan Tati, tidak pernah ada tuntuan apa-apa. Waktu tu kau masih kecil.”
“Lalu, apa yang menyebabkan ibu bersikap demikian?” tanyaku kembali.
“Lingkungan! Lingkungan dan keadaan kota yang semakin maju. Banyak orang silau dibuatnya. Tanpa kesadaran mereka bernafsu ingin mencapainya. Semua berlomba-lomba mengejar harta kekayaan. Haus akan harta dan haus akan takhta. Bagaimana caranya bagi mereka supaya puas. Mereka selamanya akan selalu kehausan!”
Ayah terdiam sejenak. Aku pun membisu seribu bahasa. Ungkapan ayah sangat dalam, menyentuh lubuk hatiku.
“Ibumu terlibat dalam perlombaan itu, tergolong mereka yang selalu kehausan!” ayah meneruskan lagi ceritanya.
“Yang dilihat tetangga kiri kanan, tanpa berpikir dari mana mereka mendapatkannya? Kau harus mengerti, Lim!”
Suasana hening kembali. Angin malam yang sejuk membawa kesegaran dan dinginnya hati. Suasana khidmat tercipta karenanya. Masing-masing membisu, masing-masing mawas diri. Masing-masing ingin menemukan sendiri hakikat hidup sebenarnya.
“Dikiranya kita sendiri hidup semacam ini. Padahal masih banyak yang hidup di bawah kita, tidak terhitung,” ujar ayah dengan sikap meyakinkan. Suaranya berat memecah kesunyian malam.
Benar juga ungkapan ayah. Yang hidup bermandikan kemewahan bisa dihitung dengan jari, memang benar.
"Apakah tahan menghadapi kenyataan itu?” tanyaku kembali memberanikan diri.
“Mesti tahan!: jawab ayah singkat.
“Bapak jelas tahan, tapi…”
“Kau bimbang? Begitu?” tanya ayahku mengingatkan.
“Maaf, maksudku… Ibu…”
“Termasuk kau juga, barangkali!” jawab ayah dengan pandangan meyakinkan.
Bagiku saru kenyataan yang harus diterima. Tanggung jawab sebagai anak!” sambungku.
“Baik…,” jawab ayah dengan suara melemah.
Aku merasa kasihan, betapa beratnya beban yang dipikul ayah. Hidup di kota penuh risiko dan tanggung jawab beban jiwa sangat berat. Namun aneh, ayah selalu tetap tenang. Bagaimanapun hebatnya goncangan itu. Belum pernah murung. Sinar raut wajahnya memancarkan kejernihan hati. Sinar matanya penuh dengan harapan meyakinkan. Apakah itu yang disebut jiwa pejuang? Apakah itu yang dimaksud sikap pejuang? Betapa mulianya hatinya Tuhan  menakdirkan demikian.


Post a Comment

0 Comments