Apakah yang dimaksud dengan sastra?
Walaupun demikian, banyak ilmuwan yang sudah berusaha untuk mendefinisikannya. Terdapat banyak paham-paham sehubungan dengan definisi-definisi yang mereka tawarkan. Wellek dan Warren (1993) sudah berupaya mengemukakan sebagian definisi sastranya, definisi yang ditawarkannya merupakan dalam rangka mencari definisi yang paling akurat.
1. Sastra merupakan suatu yang tertulis ataupun tercetak. Dengan penafsiran demikian, suatu yang tertulis, entah itu ilmu medis, ilmu sosial, ataupun apa saja yang tertulis termasuk ke dalam sastra.
2. Sastra dibatasi terhadap “mahakarya”(great book), merupakan buku- buku atau literasi yang mempunyai nilai tinggi. Hal itu termasuk kriteria yang dipakai melihat dari segi estetis, ataupun nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah.
3. Sastra diterapkan pada seni sastra, merupakan karya imajinatif. sebutan “sastra imajinatif” mempunyai kaitan dengan sebutan belles letters (“tulisan yang indah serta sopan”, yang berasal dari bahasa Prancis), kurang lebih penafsiran secara etimologis kata susastra. Definisi ketiga ini memusatkan kita untuk menguasai sastra dengan terlebih dulu untuk memandang dari aspek bahasa: bahasa yang bagaimanakah yang khas sastra itu? Butuh pengkajian terhadap perbandingan sebagian ragam bahasa: bahasa sastra, bahasa ilmiah, serta bahasa yang digunakan tiap hari.
Wellek dan Warren memberikan pendapat lain dari pendapat di atas, kaum romantisme, sebagaimana dilansir oleh Luxemberg dkk.( 1989), mengemukakan sebagian makna sastra.
1. Sastra merupakan suatu kreasi, suatu ciptaan, bukan awal atau pertama- tama suatu imitasi. Sastrawan mampu menciptakan dunia baru dalam imajinasinya, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, apalagi menyempurnakannya.
2. Sastra adalah luapan emosi yang alami. Dalam sastra, khususnya puisi, terungkapkan naluri dan ekspresi yang bergejolak, hakikat hidup dengan alam. Dalam sebutan penyair Wordsworth Poetry is the spontaneous overflow or powerfull feelings.
3. Sastra terbangun sendiri, Sastrawan hanyalah untuk mencari suatu keselarasan di dalam karyanya sendiri. Dalam penafsiran ini, apa yang sempat disampaikan Sarte pada tahun 1948, seorang filsuf Prancis, dalam puisi tidak hanya “ isyarat”, melainkan merupakan “ benda- benda”(mots- choses) yang menciptakan relevansi pemahamannya.
4. Otonomi sastra itu bercirikan sesuatu koherensi. Penafsiran koherensi ini pertama- tama mengacu pada keselarasan yang mendalam antara wujud serta isi. Tiap isi berkaitan dengan sesuatu wujud ataupun ungkapan tertentu. Tidak hanya itu, koherensi diartikan pula menunjuk pada ikatan timbal balik antara yang bagian dengan totalitas serta kebalikannya.
5.Sastra memberikan suatu sintesa antara hal- hal yang silih bertentangan. Pertentangan- pertentangan itu aneka rupa wujudnya. Terdapat pertentangan antara yang disadari serta tidak disadari, antara laki- laki serta perempuan, antara roh serta benda-benda.
6. Sastra sesuatu yang tidak bisa diungkapkan, sastra sanggup memperkenalkan berbagai asosiasi serta konotasi yang dalam bahasa setiap hari tidak sering kita temukan.
Menguraikan pemikiran kalangan romantik tersebut, Luxemburg dkk.( 1989) sendiri berkomentar kalau tidak bisa membagikan suatu definisi tentang sastra secara universal atau menyeluruh. Menurutnya, sastra bukan suatu barang yang disimpan di mana saja. Sastra juga bisa disebut untuk suatu nama yang dihasilkan dari kebudayaan atau peradaban. Bersumber pada pemikirannya, Luxemburg dkk. Lebih menyebut beberapa aspek yang dapat disebut identitas sastra.
1. Sastra merupakan tulisan yang tidak melulu disusun ataupun dipakai sesuatu yang bersifat komunikatif yang instan dan digunakan dalam waktu tertentu. Sastra dipergunakan dalam suasana komunikasi yang diatur oleh suatu kebudayaan tertentu.
2. Mengacu pada sastra Barat, khususnya suatu bacaan drama serta cerita, bacaan sastra dicirikan dengan terdapatnya faktor fiksionalitas di dalamnya.
3. Bahan sastra diolah secara istimewa, terdapat yang menekankan secara ekuivalensi, terdapat yang menekankan penyimpangan tradisi bahasa, ataupun tata bahasa. Lebih jelasnya merupakan penekanan pada pemakaian faktor ambiguitas ( sesuatu kaya yang memiliki penafsiran lebih dari satu atau banyak makna).
4. Suatu karya sastra bisa kita baca dengan makna yang berbeda- beda. Selama makna tersebut wajar, sekaligus dalam membaca suatu karya, sastra bergantung pada kualitas karya sastra bersangkutan, serta keahlian pembaca dalam berteman dengan teks- teks sastra.
Berbeda dengan asumsi Wellek dan Warren serta kalangan romantik di atas, Teeuw ( 1988) berupaya mendefinisikan sastra dengan memakai arti yang tercantum dalam kata‘ sastra’ tersebut dengan metode menyamakan nama serta penafsiran kata tersebut pada sebagian negara-negara. Dalam bahasa Barat digunakan, untuk nama , Literatur ( Jerman), littérature ( Prancis), literature ( Inggris) semua penulisan tersebut berasal dari bahasa Latin litteratura. Kata litteratura awalnya berasal dari kata Yunani gramatika; litteratura serta gramatika tiap- tiap bersumber pada kata littera serta gramma yang berarti‘ huruf’( tulisan, letter).
Litteratura banyak dipakai untuk puisi dan tata bahasa; misalnya dalam bahasa Perancis dipakai kata lettré. Belanda geletterd adalah berperadaban dengan kompetensi atau keahlian khususnya di bidang sastra, Inggris man of letters. Literature dan sebagainya, biasanya dalam bahasa Barat modern: semuanya suatu yang tertulis, atau penggunaan bahasa dalam wujud tertulis.
Dalam bahasa Jerman, sangat aktif mencari kata yang berasal dari Jerman asli untuk dijadikan konsep asing dipakai 2 kata Jerman asli, ialah Schrifftum, yang meliputi seluruh suatu yang terlulis, sebaliknya Dichtung umumnya terbatas pada tulisan yang tidak langsung berkaitan dengan realitas, jadi yang mengacu pada rekaan, serta secara implisit ataupun eksplisit memiliki nilai estetik.
Berangkat dari beragam pendapat yang berkaitan dengan pendefinisian sastra yang beragam tersebut, hingga golongan akademik kerap kali sastra pula didefinisikan cocok dengan kerangka teori yang mendasarinya. Menurut teori objektif, sastra bisa diartikan seperti karya seni yang utuh dan berdiri sendiri atau otonom, bebas dari pengarang, realita atau pembaca. Bersumber dari teori mimetik karya sastra disebut seperti tiruan alam ataupun reflesksi dari kehidupan.
Dari teori ekspresif karya sastra dilihat menurut ekspresi sastrawan, ungkapan perasaan serta hati sastrawan, ataupun hasil dari imajinasi sastrawan yang bekerja dengan pendapat, pikiran ataupun perasaannya. Selain itu, bersumber pada teori pragmatik karya sastra ditatap, seperti fasilitas untuk mengantarkan tujuan tertentu. Misalnya nilai- nilai ataupun ajaran kepada pembaca ( Abrams, 1981).
0 Comments